30.1 C
Jakarta
Thursday, September 19, 2024

Mitos tentang Tebalnya Selimut

Sejak kecil, kita sering mendengar cerita sejarah yang dipadukan dengan dongeng. Cerita-cerita tersebut terlihat seragam dan seakan-akan mengikuti aturan tertentu. Selama perjalanan, kita sering kali mendengar cerita-cerita turun temurun dari para juru kunci makam dan pengurus kompleks makam.

Namun, perjalanan “menjahit” ini sebenarnya dimulai dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, bukan dari Ampeldenta. Tempat ini menjadi awal persiapan dan bekal untuk perjalanan yang panjang. Kita tidak pergi ke sana untuk belajar, melainkan untuk bertemu dengan Bapak Wakil Dekan yang akan diulas lebih lanjut pada episode selanjutnya.

Mitos merupakan cerita yang tersebar dari mulut ke mulut dan dipercayai oleh masyarakat. Mitos menjadi payung sepanjang perjalanan menuju jejak penyebaran agama Islam di Jawa Timur. Mitos ini terdengar begitu meyakinkan ketika pertama kali didengar.

Di sisi lain, fakta adalah sesuatu yang dapat dibuktikan dengan data. Fakta adalah kebalikan dari mitos. Mitos dan fakta, seperti air dan minyak, Korea Utara dan Korea Selatan, dua hal yang sulit untuk disatukan.

“Seringkali masyarakat menciptakan mitos tentang tokoh-tokoh penting, dan menggunakan simbol-simbol untuk menceritakannya.”

Ini adalah ungkapan yang kami dengar saat mengunjungi Wakil Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tanggal 15 Maret 2024. Dr. H. Muhammad Khodafi, M.Si, itulah nama yang tertulis di pintu ruangannya.

Salah satu cerita yang disebutkan adalah kisah Sunan Ampel yang membawa gapura dari Kerajaan Majapahit. Ketika berziarah ke kompleks makam Sunan Ampel, kita akan melihat lima gapura berwarna putih dengan tinggi sekitar 3 meter. Cerita ini berasal dari Pak Mustajab, abdi dalem makam, yang mengatakan bahwa Sunan Ampel membawa gapura tersebut dengan menggunakan sajadah yang dikepit dan dibawa ke Ampeldenta.

Ada juga cerita tentang kapal Sunan Bonang yang selalu berputar-putar ketika berlayar di perairan Tuban menuju Madura. Ketika Sunan Bonang meninggal, murid-muridnya ingin menguburkan beliau di Madura. Namun, kapal terus berputar hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menguburkannya di Bumi Wali.

Cerita-cerita turun temurun ini belum ada ujungnya hingga saat ini. Tim Ekspedisi Warisan Islam dalam Selimut Budaya Baru terus menjelajah puluhan kilometer untuk mencari fakta-fakta yang tersisa.

Ketika kami singgah di beberapa makam, para juru kunci atau pengurus yayasan selalu bercerita berdasarkan “cerita turun temurun” atau “katanya orang dulu-dulu”. Mereka tidak hidup di zaman yang sama dengan para Sunan, sehingga bukti empiris dari cerita-cerita tersebut masih terus digali oleh tim ekspedisi.

Source link

berita terkait

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Berita Terbaru