Orang Jawa memiliki kepercayaan akan keberadaan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hantu yang terkenal adalah tuyul, hantu anak kecil berkepala gundul yang suka mencuri uang diam-diam dari rumah ke rumah.
Pada tahun 1952, seorang mahasiswa Harvard University, Clifford Geertz, datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian antropologi. Geertz tertarik dengan narasi tuyul dalam alam pikir orang Jawa. Ia mendengar cerita bahwa ada tiga orang di Mojokuto, Kediri, yang memelihara tuyul untuk memperoleh kekayaan. Mereka melakukan perjanjian dengan roh di tempat-tempat keramat umat Hindu seperti Borobudur, Penataran, Bongkeng, dan makam Sunan Giri.
Menurut Geertz, pemelihara tuyul memiliki ciri-ciri khusus, antara lain kaya raya atau menjadi kaya secara mendadak, kikir, menggunakan pakaian bekas, mandi di sungai bersama para kuli miskin, dan menyantap makanan orang miskin. Mereka melakukan ini untuk mengelabui orang lain agar dianggap tidak punya uang, padahal rumah mereka selalu penuh dengan emas batangan.
Dari segi perilaku sosial, para pemelihara tuyul sering melakukan penyimpangan dan kurang sopan santun. Mereka juga mengalami kesulitan saat meninggal, dengan mengalami kematian yang lambat dan sulit.
Geertz juga mengamati tiga hantu lain dalam penelitiannya, yaitu memedi, lelembut, dan dedemit. Hasil riset ini membuat Geertz menjadi salah satu antropolog terkemuka yang secara spesifik meneliti masyarakat Indonesia.