Setiap tanggal 1 Suro atau 1 Muharram di Kabupaten Ponorogo, tradisi larungan buceng di Telaga Ngebel menjadi acara yang ditunggu-tunggu. Kegiatan ini, yang merupakan warisan leluhur, diharapkan dapat menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi destinasi wisata alam unggulan di bumi reog tersebut.
Sebuah buceng setinggi sekitar 2 meter akan dibawa ke tengah telaga dan ditenggelamkan sebagai bagian dari acara larungan. Selain buceng utama, ada juga 8 buceng hasil bumi lainnya yang dipurak dan diperebutkan oleh warga yang ikut serta dalam acara tersebut. Semua dilakukan dengan harapan mendapatkan keberkahan di tahun baru menurut kalender Jawa maupun Hijriah.
Salah seorang warga, Sugeng, menyatakan kegembiraannya bisa melihat prosesi larungan di Telaga Ngebel. Ia bahkan ikut serta dalam berebut buceng yang dipurak selama acara berlangsung. Di hari libur, Sugeng sengaja membawa keluarganya untuk menyaksikan larungan tersebut karena rumahnya tidak terlalu jauh dari kawasan Telaga Ngebel. Ia terkesan dengan budaya dan kearifan lokal yang masih terjaga di Kabupaten Ponorogo, termasuk seni Reog Ponorogo yang tak lepas dari kehidupan masyarakat.
Pada perayaan larungan di Telaga Ngebel, kegiatan tersebut juga menjadi wujud doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Doa tersebut disertai dengan tarian-tarian sebelum buceng dilarungkan ke dalam telaga, disertai lantunan sholawat yang mengiringinya. Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, menegaskan pentingnya menjaga dan melestarikan tradisi larungan ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Tradisi larungan dan purak buceng ini diharapkan tidak hanya mempertahankan warisan budaya leluhur, tetapi juga dapat meningkatkan daya tarik wisata Telaga Ngebel. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Bagi masyarakat, larungan bukan hanya sekadar acara budaya, tetapi juga menjadi ajang untuk memikat wisatawan dan mengembangkan potensi ekonomi lokal. [end/aje]