Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta Sari menekankan pentingnya memberikan edukasi kesehatan reproduksi pada anak sebagai langkah untuk mencegah perkawinan anak. Nanda Dwinta Sari menyampaikan pesan ini dalam sebuah webinar di Jakarta.
Menurut Nanda Dwinta Sari, informasi mengenai kesehatan reproduksi tidak boleh dianggap sebagai isu sensitif. Generasi muda perlu menyadari risiko yang dapat terjadi apabila mereka melakukan hubungan seksual di usia yang masih anak-anak. Selain itu, informasi mengenai Keluarga Berencana (KB) juga harus disebarkan tanpa memandang usia, status pernikahan, atau lokasi.
YKP juga mengkampanyekan larangan perkawinan anak, mendukung otonomi tubuh anak, serta memberikan informasi mengenai hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual perempuan. Pemerintah daerah juga diharapkan memperketat aturan terkait usia minimal 19 tahun sebagai syarat perkawinan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan.
Selain itu, Nanda Dwinta Sari juga menyoroti penurunan jumlah dispensasi perkawinan di data KUA setempat. Dia juga menekankan bahwa keluarga tidak boleh memaksa anak untuk menikah.
Perkawinan anak dinilai sebagai bentuk kekerasan fisik, seksual, mental, dan sosial terhadap anak yang dapat mengancam kesehatan dan kesejahteraannya. Kehamilan dan persalinan pada usia anak juga memiliki risiko yang lebih tinggi, seperti tingkat keguguran yang lebih tinggi, potensi kematian ibu dan bayi, serta risiko infeksi menular seksual.
Selain risiko fisik, kehamilan dan persalinan usia anak juga berisiko menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi, stres, dan penelantaran bayi. Oleh karena itu, edukasi kesehatan reproduksi pada anak sangat penting untuk mencegah konsekuensi negatif dari perkawinan anak.
Artikel ini ditulis oleh Anita Permata Dewi dan diedit oleh Indra Gultom.