Fenomena Bediding kini banyak diperbincangkan oleh masyarakat karena suhu di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Jawa Timur, terasa lebih dingin dari biasanya meskipun masih musim kemarau. Bediding merupakan fenomena di mana suhu udara terasa sangat dingin, terutama pada malam hingga pagi hari, yang terjadi di awal musim kemarau. Istilah “Bediding” berasal dari bahasa Jawa “Bedhidhing” yang artinya kedinginan.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu yang lebih dingin menjelang puncak musim kemarau adalah hal umum yang terjadi, terutama di Pulau Jawa. Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari, menjelaskan bahwa suhu dingin biasanya terjadi pada bulan-bulan puncak musim kemarau, yaitu sekitar Juli hingga September.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan fenomena bediding adalah pergerakan angin dari arah timur yang berasal dari Benua Australia. Angin ini membawa udara kering dan dingin ke wilayah Indonesia, terutama Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur. Ketika angin tersebut bergerak ke Indonesia, suhu udara menjadi lebih dingin terutama pada malam hari karena kehilangan panas dari permukaan tanah lebih cepat.
Fenomena bediding dapat memberikan dampak signifikan bagi masyarakat, antara lain dalam hal kesehatan, pertanian, dan kegiatan sehari-hari. Suhu dingin yang ekstrem dapat mempengaruhi kesehatan terutama anak-anak dan lansia. Selain itu, suhu dingin juga bisa mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga petani perlu melakukan langkah pencegahan.
Untuk menghadapi fenomena bediding, masyarakat disarankan untuk menggunakan pakaian hangat saat beraktivitas di luar ruangan, mengonsumsi makanan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh, dan melakukan perawatan tanaman dengan perlindungan tambahan. Dengan memahami fenomena bediding dan mengambil langkah-langkah yang tepat, masyarakat dapat lebih siap menghadapi perubahan suhu di awal musim kemarau.