Ibadah haji memiliki makna yang sangat penting bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Selain sebagai bentuk pemenuhan rukun Islam, haji juga sering dianggap sebagai simbol status sosial di masyarakat. Antusiasme masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi setiap tahunnya. Namun, tingginya antusiasme ini membuka celah bagi oknum agen travel haji yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan penipuan terhadap calon jemaah haji.
Salah satu contoh kasus terjadi ratusan tahun lalu di mana ribuan calon jemaah haji asal Indonesia terlantar di Singapura. Pada masa kolonial atau saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, ongkos perjalanan haji jauh lebih tinggi daripada masa kini. Biasanya, perjalanan haji dilakukan melalui kapal laut dengan waktu tempuh yang bisa mencapai 1-2 bulan. Hal ini juga menjadi faktor penentu besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon jemaah.
Dulu, biaya haji berkisar antara 500 hingga 800 gulden, yang jika dikonversi dengan harga emas saat ini akan setara dengan kurang lebih Rp 434 juta. Agen travel haji pada masa itu sering menawarkan paket ibadah haji dengan biaya rendah yang menggiurkan bagi calon jemaah dengan dana terbatas. Namun, di balik tawaran tersebut ternyata terdapat penipuan yang dilakukan oleh oknum agen haji yang tidak bertanggung jawab.
Sejumlah calon jemaah haji asal Indonesia pun terjebak dalam tipu daya agen haji ini. Mereka diberangkatkan dengan kapal barang yang fasilitasnya sangat terbatas, tanpa kamar tidur, toilet, dan perbekalan yang memadai. Seiring perjalanan, kapal berhenti di Singapura di mana calon jemaah diminta untuk turun karena tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Makkah. Akibatnya, banyak calon jemaah haji terlantar tanpa kejelasan nasib di Singapura.
Mereka yang terlantar di Singapura harus memilih antara melanjutkan perjalanan ke Makkah dengan bekerja terlebih dahulu atau pulang ke Tanah Air dengan cara memperoleh sertifikat haji palsu. Beberapa calon jemaah haji memilih untuk membeli sertifikat haji palsu agar bisa pulang ke Tanah Air tanpa malu dengan status sosial “bapak haji” atau “ibu haji”. Praktik semacam ini kemudian membuat mereka dikenal dengan sebutan “Haji Singapura”.