Perayaan Idulfitri di Jawa tidak berhenti pada hari raya pertama, tetapi seminggu setelahnya terdapat tradisi yang istimewa yaitu “Riyoyo Ketupat” atau “Kupatan” yang menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi dan rasa syukur. Ketupat, yang merupakan olahan beras yang dibungkus daun janur dan dikukus, menjadi simbol utama dalam tradisi ini. Kata “kupat” sendiri dalam bahasa Jawa berarti “ngaku lepat”, yang artinya adalah mengakui kesalahan.
Tradisi Riyoyo Ketupat dimulai dengan membawa ketupat yang telah dimasak dengan hati-hati ke masjid, lalu disusun secara rapi di depan mimbar masjid sebagai simbol kesetaraan dan persaudaraan. Setelah itu, dilakukan pembacaan doa bersama untuk memanjatkan rasa syukur atas limpahan rahmat dari Allah SWT, dan setelah doa selesai, ketupat dibagikan kepada seluruh jemaah tanpa memandang status sosial.
Riyoyo Ketupat bukan hanya sekedar tradisi turun-temurun, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan. Dalam tradisi ini terdapat kesadaran diri dalam bertindak, pengakuan dan permintaan maaf, persaudaraan dan kebersamaan, serta rasa syukur kepada Allah SWT. Di tengah modernisasi, tradisi Riyoyo Ketupat menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur budaya Jawa yang harus tetap dijaga. Mari lestarikan tradisi ini sebagai upaya untuk memperkuat hubungan antar sesama dan meningkatkan kualitas diri.