33.4 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

THE LEADERSHIP OF INDONESIA’S NATIONAL LEADER, PRESIDENT SUKARNO

Oleh: Prabowo Subianto

Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuatan asing yang sombong dan arogan. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Dia adalah seorang intelektual besar, orator, dan organisator.

Banyak yang bisa kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya ambil dari beliau bisa menjadi buku tersendiri.

Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia yang masih muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang mempengaruhi semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno menciptakan pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga hari ini.

Pada tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama waktu ini, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, dan menetapkan dasar bagi pemerintahan Indonesia yang baru.

Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian Anda pada beberapa peristiwa sejarah penting yang sangat berdampak pada arah negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Seperti yang dapat kita bayangkan, pada saat itu, negara kita boleh jadi tidak memiliki apa-apa. Namun Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, dan membacakan pidato berikut:

“Saudara-saudara, saudari-saudari, sahabatku semua! Saya telah mengumpulkan kalian di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita rakyat Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Selama berabad-abad, bahkan! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan kita telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tapi semangat kita tetap pada mencapai tujuan kita. Juga, selama zaman penjajahan Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan kita telah tak kenal lelah. Mungkin kelihatannya kita mengandalkan Jepang, tapi pada hakikatnya, kita mengandalkan tekad kita, pada kekuatan kita. Sekarang sudah sampai waktunya untuk benar-benar mengendalikan nasib bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengendalikan nasibnya sendiri yang akan mampu kuat dan bangga berdiri tegak. Jadi, [hari ini], kita sudah bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita sudah mencapai kesepakatan bahwa sekarang adalah waktunya untuk menegaskan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Dengan ini kita tegas mengucapkan: Kemerdekaan!

Kita bisa membayangkan keadaan pikiran Bung Karno pada saat itu. Beliau dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini menimbulkan pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata atom. Saat itu, kita tidak memiliki apa-apa. Senjata yang kita miliki adalah sisa-sisa arsenal Belanda dan Jepang yang berhasil kami rebut.

Peristiwa kedua yang penting untuk pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato Presiden Sukarno di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Sukarno berada di bawah tekanan besar untuk menciptakan landasan ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa pihak mendorong untuk landasan ideologi berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Namun beliau dengan tenang memutuskan, di depan rapat tersebut, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila.

Presiden Sukarno berkata:

“Kami ingin menciptakan sebuah negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum bangsawan, bukan untuk orang kaya – tetapi untuk semua! Republik Indonesia bukan milik satu kelompok, bukan juga milik agama tertentu atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tetapi ia milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.”

Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik lama Bung Karno.

Pak Soemitro bahkan ikut serta dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.

Karena saya adalah putra dari Profesor Soemitro, beberapa orang dapat mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Namun, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia menentang Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dia pernah berkata, ‘Tapi, anak-anakku, kalian semua harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin besar. Bung Karno adalah salah satu pemimpin terunggul yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang berbeda, faksi politik, dan kebiasaan untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’

Pak Soemitro pernah bercerita kepada kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, kami mungkin tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tetapi malah berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan itu memang yang diinginkan Belanda: melihat Indonesia pecah menjadi puluhan negara yang berbeda. Itu juga yang diharapkan oleh beberapa negara lain di sekitar kita. Itulah yang dikatakan ayah saya kepada saya.

Kemudian, Pak Mitro menceritakan bagaimana dia, pada awal 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak bersekutu dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memperingatinya. Bung Karno berkata kepada Pak Mitro, ‘Hey Mitro, saat kau masih memakai celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingat itu. Kau hanya urus perekonomian dan biarlah politik padaku. Aku lebih paham politik Indonesia daripada yang kau pahami.’

Pak Mitro mengatakan kepada saya bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tetapi, menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak ada niat jahat. Saya hanya ingin Bung Karno tidak jatuh ke dalam perangkap. Saya yakin bahwa PKI suatu hari akan mengkhianati Bung Karno.’

Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) pada suatu waktu adalah dirinya, bukan Dokter Subandrio. Tetapi ketika diberi posisi itu, dia sekali lagi meminta Bung Karno untuk tidak bersekutu dengan PKI. Bung Karno marah dengan ketegasan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya.

Saat Pak Mitro menceritakan kisah itu kepada saya, saya berkata kepadanya, ‘Pak, saya rasa Anda salah. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sisinya, Anda mungkin bisa mencegah manuver PKI.’

Pak Mitro memikirkan apa yang saya katakan untuk cukup lama sebelum akhirnya mengakui, ‘Saya rasa Anda benar, Bowo. Seharusnya saya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’

Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik saya Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika dia terbaring sakit di ranjang, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah Anda memiliki penyesalan dalam hidup Anda? Apa yang paling Anda sesalkan dalam hidup Anda?’

Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Saya seharusnya tetap berada di sisinya.’

Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di kalangan Generasi ’45 – mereka memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka saling menghormati satu sama lain. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam pendirian kita karena, pada suatu saat, pendirian kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda.

Ada satu lagi hal yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Dia tinggi, berbadan kekar, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergema.

Saya ingat bahwa beliau mengangkat saya seperti akan melemparkan saya ke udara. Kemudian dia menurunkan saya kembali. Saya tidak ingat persis apa yang dia katakan, tetapi saya mengingatnya sebagai sosok yang ramah, menyenangkan. Saya bisa merasakan kehangatan darinya. Itu kesan saya tentang dia dari interaksi saya dengan Bung Karno.

Mungkin karena Bung Karno, saya selalu ingin mengangkat seorang anak kecil setiap kali melihat mereka. Itu mengingatkan saya pada beliau. Saya juga ingat semua pakaian putih yang dia kenakan saat itu. Mungkin itulah juga mengapa saya lebih suka berpakaian putih, dan mengapa saya memilih warna putih sebagai warna partai politik yang saya dirikan, Partai GERINDRA.

Saya juga ingin menceritakan kisah di balik nama partai. Teman-teman saya pernah menyarankan bahwa jika saya ingin berperan aktif dalam pembangunan bangsa, saya harus bersedia terlibat dalam politik praktis. Saya didorong untuk membentuk partai politik yang berakar pada ideologi Pancasila, Konstitusi 1945, dan Republik Indonesia. Partai nasional ini akan berdiri di sisi rakyat, mengejar swasembada, dan mendorong bangsa untuk berdiri tegak dan bangga. Ide-ide semacam itu mengingatkan saya pada sebuah cerita yang pernah diceritakan kakek saya – sebuah cerita yang juga bisa kita temui dalam buku sejarah.

Suatu hari pada tahun 1930-an, sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil kakek saya, Margono Djojohadikusumo.

Kemudian, Bung Karno berkata kepada Pak Margono: ‘Pak Margono, PNI telah dibubarkan oleh Belanda. Para tokoh terkemuka partai kita berada dalam tahanan, dan saya akan diasingkan besok di luar Jawa. Saya tidak tahu di mana tepatnya. Saya akan tinggalkan surat kuasa ini kepada Pak Margono. Saya menugaskan Pak Margono untuk membentuk partai politik untuk melanjutkan perjuangan PNI.’

Melalui surat kuasa ini, Bung Karno menamai partai yang akan menjadi penerus PNI, PARINDRA (Partai Indonesia Raya). Pak Margono dipercayakan menjadi ketuanya. Belanda tidak menangkap dan mengasingkan Pak Margono karena dia adalah seorang pegawai sipil dalam administrasi Belanda.

Beberapa tahun kemudian, Bung Karno kembali ke Jakarta setelah dibebaskan dari pengasingan. Pak Margono segera pergi ke Bung Karno dan menyerahkan surat kuasa tersebut. Pak Margono berkata, ‘Bung, saya sekarang mengembalikan surat kuasa ini kepada Anda, dan sebagai gantinya, PARINDRA akan dibubarkan dan digabungkan ke dalam gerakan perjuangan kemerdekaan yang lebih besar.’

Kisah ini dengan jelas menggambarkan bagaimana tokoh-tokoh masa lalu mengagungkan pemimpin mereka dan menyadari bahwa setelah mereka selesai menjalankan tugas mereka, dan jika para pemimpin dapat menguasai kembali, mereka akan mengembalikan surat kuasa. Meskipun Pak Margono lebih senior dari Bung Karno, dia setia dan taat pada pemimpin perjuangan kemerdekaan.

Ketika saya hendak mendirikan partai politik, saya diingatkan oleh kisah ini, jadi saya memilih nama PARINDRA. Tetapi ketika kami mendaftarkannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM), kami tidak bisa menggunakan nama itu karena sudah pernah digunakan sebelumnya, pada pemilu tahun 1955.

Akhirnya, setelah diskusi yang panjang, Pak Hashim mengusulkan menggunakan Gerakan Indonesia Raya sebagai gantinya, singkatnya GERINDRA. Inilah awal mula Partai GERINDRA. Sehingga, setiap kali saya bertemu Ibu Megawati, saya suka bercanda, ‘Jika PDIP adalah anak ideologis PNI, maka GERINDRA adalah cucunya.’

Terakhir, saya juga ingin menceritakan satu cerita. Mungkin terdengar sepele, tapi saya pikir ini sangat penting. Pada awal tahun 2015, saya mendapat foto Presiden Sukarno naik kuda selama upacara Hari Armed Forces pertama dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Foto tersebut mengabadikan sebuah acara penting dalam sejarah bangsa Indonesia.

Foto itu diberi tanggal 5 Oktober 1946, hanya setahun dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Presiden baru Republik Indonesia perlu menunjukkan kepada dunia bahwa Republik ini kuat, mampu, dan siap menjaga kemerdekaannya bahkan pada usia yang sangat muda.

Atas perintah Presiden Sukarno, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dipimpin oleh Jenderal Sudirman, bertugas untuk menyelenggarakan upacara militer besar-besaran bagi negara yang baru merdeka di lapangan kota Yogyakarta. Salah satu acara kunci adalah inspeksi pasukan berkuda.

Presiden Sukarno berjuang belajar bagaimana naik kuda sepanjang hari sebelum upacara. Namun, pada hari H, beliau berhasil naik kuda dengan sikap gagah. Gerakan beliau pada hari itu memberi pesan yang jelas, tak terbantahkan kepada penonton dalam negeri maupun internasional: Indonesia adalah bangsa merdeka dan memiliki kekuatan bersenjata sendiri.

Source link

berita terkait

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Berita Terbaru