Ciri pasangan yang berpotensi selingkuh dapat dikenali berdasarkan sebuah studi ilmiah yang menemukan bahwa orang, terutama laki-laki, yang bergantung secara ekonomi terhadap pasangannya cenderung tidak setia. Studi berjudul “Her Support, His Support: Money, Masculinity, and Marital Infidelity” menemukan bahwa pasangan heteroseksual berusia 18 hingga 32 tahun dengan pendapatan lebih rendah dari pasangannya memiliki potensi besar untuk berselingkuh dalam pernikahan.
Data yang dihimpun dari National Longitudinal Survey of Youth menunjukkan bahwa ketidaksetaraan ekonomi dalam hubungan membuat baik laki-laki maupun perempuan merasa tidak nyaman. Meskipun kedua jenis kelamin memiliki risiko perselingkuhan ketika bergantung secara ekonomi, laki-laki cenderung lebih berpotensi untuk berselingkuh daripada perempuan.
Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah keluarga, sehingga ketika mereka bergantung secara ekonomi kepada pasangan, mereka merasa kehilangan maskulinitas. Selingkuh dianggap sebagai tindakan “maskulin” untuk mengimbangi rasa sakit yang mereka rasakan akibat kehilangan peran tersebut. Sementara itu, perempuan yang menjadi pencari nafkah cenderung lebih jarang selingkuh karena mereka lebih memperhatikan perasaan dan harga diri suami.
Perempuan yang mencari nafkah berusaha untuk menjaga hubungan pernikahannya dengan tindakan-tindakan kecil yang dapat meningkatkan maskulinitas suaminya, seperti memberikan kartu kredit agar suami terlihat sebagai yang membayar saat makan di restoran. Hal ini dianggap sebagai “alternatif” selingkuh bagi perempuan demi mempertahankan hubungan pernikahannya.