Kementerian Perindustrian menilai keputusan Manajemen PT Sepatu Bata Tbk untuk menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, merupakan langkah yang kurang tepat mengingat pertumbuhan industri sepatu dalam negeri yang meningkat. Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan, menyatakan bahwa industri sepatu nasional mengalami pertumbuhan sebesar 5,9 persen secara tahunan pada triwulan I 2024.
Pertumbuhan ini dipicu oleh kebijakan pengendalian impor barang jadi, jaminan bahan baku, serta regulasi larangan dan pembatasan (Lartas) untuk barang konsumsi alas kaki. Adie juga mencatat peningkatan ekspor sebesar 0,95 persen, penurunan impor sebesar 1,38 persen, serta kinerja Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang terus meningkat sejak November 2023 hingga Februari 2024.
Keberlakuan kebijakan Lartas dianggap sebagai angin segar bagi industri dalam negeri untuk terus meningkatkan produksinya. Salah satu alasan penutupan pabrik Sepatu Bata adalah inefisiensi produksi dan produk yang tidak sesuai dengan selera konsumen, sehingga perusahaan memilih fokus pada lini bisnis ritel.
Sebelum ditutup, pabrik Sepatu Bata hanya menyisakan 233 karyawan dengan produksi hanya mencapai 30 persen dari kapasitasnya. Produksi pabrik juga mengalami penurunan dari 3,5 juta pasang pada tahun 2018 menjadi 1,15 juta pasang pada tahun 2023. Hal ini menyebabkan peningkatan kerugian, penurunan nilai aset, penurunan ekuitas, dan peningkatan liabilitas setiap tahun.
Namun, dengan kondisi perusahaan yang membaik, diharapkan PT Sepatu Bata dapat membuka kembali pabriknya di Indonesia dengan kapasitas yang lebih besar. Pemerintah juga terus mendorong peningkatan ekspor dari produksi dalam negeri sebagai bagian dari rantai pasok global merek Bata bersama afiliasinya di luar negeri.