Selama 25 tahun terakhir, masyarakat keturunan Tionghoa dapat merayakan Tahun Baru Imlek secara bebas. Ini berbeda dengan masa sebelumnya ketika mereka dilarang untuk merayakan perayaan keagamaannya.
Pelarangan ini terjadi dari tahun 1968 hingga 1998, saat Soeharto berkuasa sebagai Presiden. Soeharto memiliki prasangka buruk terhadap China yang dikaitkan dengan komunisme. Hal ini menyebabkan orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak diizinkan untuk merayakan perayaan keagamaan mereka.
Soeharto ingin orang-orang Tionghoa melakukan asimilasi dengan kebudayaan pribumi atau warga asli Indonesia. Sentimen ini membuat orang Tionghoa di Indonesia dikategorikan sebagai non-pribumi.
Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang melarang segala sesuatu yang berbau China di Indonesia, termasuk penggunaan bahasa Mandarin, lagu-lagu, dan perayaan Imlek.
Hal ini melanggar hak asasi mengenai ekspresi kebudayaan suatu kelompok dan membuat kebudayaan Tionghoa terhapus.
Setelah Orde Baru runtuh, Presiden B.J Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut aturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan Soeharto. Orang Tionghoa bisa mengekspresikan kembali kebudayaannya secara bebas, termasuk juga perayaan Tahun Baru Imlek. Meski begitu, diskriminasi terhadap orang Tionghoa belum sepenuhnya hilang karena sudah menjadi bagian dari budaya.