Surabaya (beritajatim.com)– Hamparan rumput hijau, beragam jenis tanaman menjadi penyegar mata warga kota Surabaya di tengah hiruk pikuk keramaian kota. Paru paru hijau di jantung kota, menyimpan segudang sejarah Surabaya.
Dulu dikenal sebagai Taman Simpang atau Kroesen Park. Taman seluas 5.300 meter persegi menjadi saksi bisu perjuangan kota Pahlawan. Berada di depan gedung Grahadi, taman ini tak hanya menawarkan keindahan alam, namun juga menyimpan nilai sejarah yang mendalam.
Salah satu ikon Taman Apsari adalah Monumen Gubernur Suryo. Patung megah ini didirikan untuk mengenang jasa Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, gubernur pertama Jawa Timur yang gugur dalam peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1948. Monumen ini menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Diresmikan pada tahun 1985, memiliki desain yang megah serta artistik, menggambarkan sosok Gubernur Suryo dengan posisi berdiri tegak, lengkap dengan atribut kepemimpinannya.
Di bawah monumen tersebut terdapat prasasti dari Gubernur pertama Surabaya yang berbunyi, “Berulang kali kami telah diberitahu bahwa lebih baik jatuh berkeping-keping daripada dijajah lagi. Dan sekarang dalam menghadapi ultimatum Inggris, kita akan berpegang teguh untuk menolak ultimatum.” Kata-kata tegas yang dibacakan melalui Radio Niron, menjadi semangat juang rakyat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan.
Lahir di Magetan pada 9 Juli 1898, Gubernur Suryo berasal dari keluarga terpandang. Beliau menempuh pendidikan di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri.
Pada tahun 1945, Gubernur Suryo ditunjuk menjadi Gubernur Jawa Timur pertama. Beliau memimpin Jawa Timur dalam masa-masa sulit, yaitu pasca kemerdekaan. Beliau aktif dalam perjuangan pertahanan kemerdekaan. Gubernur Suryo berhasil menyatukan berbagai kekuatan di Jawa Timur untuk menghadapi ancaman dari pihak yang ingin menggoyahkan kemerdekaan. Sayangnya, pengabdian beliau terhenti saat beliau menjadi korban peristiwa pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948. Kematian beliau menjadi duka mendalam bagi masyarakat Jawa Timur.
Patung ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat sejarah, tetapi juga sebagai simbol semangat juang serta nasionalisme yang harus terus dijaga, kepemimpinan kuat, tegas, serta visioner.