Bank Indonesia (BI) memproyeksikan penurunan suku bunga The Fed dua kali pada tahun 2025, dengan penurunan masing-masing sebesar 50 basis poin (bps), menuju level 4 persen sebagai baseline, dan kemungkinan turun ke 3,5 persen pada akhir 2026. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa suku bunga Amerika diproyeksikan turun dari 4 persen pada tahun ini menjadi 3,5 persen pada tahun 2026, dengan inflasi Amerika yang turun secara perlahan. Akan tetapi, defisit fiskal Amerika Serikat (AS) diprediksi meningkat dari 6,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 7 persen PDB pada 2026, yang berpotensi menjaga yield obligasi pemerintah AS tetap tinggi. Dalam sesi triwulan pertama tahun 2026, yield US Treasury 10 tahun diperkirakan mencapai 4,7 persen dan tetap tinggi setelahnya.
Perry juga mencatat adanya kecenderungan penurunan kekuatan dolar AS belakangan ini. Persepsi pasar keuangan global mulai berubah, dengan aliran aset yang sebelumnya masuk ke AS mengalihkan perhatian ke instrumen yang dianggap lebih aman, seperti emas, dan aset keuangan di pasar emerging. Perry mengingatkan bahwa kondisi global saat ini penuh ketidakpastian yang dipicu oleh faktor kebijakan tarif dari AS dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi global diprediksi stagnan di level 3 persen pada tahun 2026, dengan pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia cenderung menurun.
Ekonomi AS, Eropa, Jepang, dan Tiongkok semua menghadapi tekanan ekonomi yang berdampak pada pertumbuhan. Meskipun begitu, India masih menjadi harapan dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi sekitar 6,6 persen pada tahun 2025 dan 2026. Perry menegaskan perlunya Indonesia memperkuat ketahanan ekonomi terhadap dampak eksternal serta menjaga stabilitas ekonomi, nilai tukar, dan pasar obligasi. Selain itu, stimulus untuk pertumbuhan ekonomi juga harus terus ditingkatkan melalui kebijakan fiskal, bank sentral, dan dukungan pada sektor riil, khususnya melalui program Asta Cita.