Geni Faruk memotong sambutan saat prosesi lamaran Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid hanya karena Atta Halilintar tidak menyebut Thariq sebagai Haji Thariq. Geni Faruk merasa bahwa Thariq telah menunaikan ibadah haji di usia 2 tahun, sehingga seharusnya dipanggil Haji Thariq.
Permasalahan penggunaan gelar haji ini sebenarnya berasal dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat politis. Mereka melihat pergi haji bukan hanya sebagai aspek ibadah atau bisnis, tetapi juga sebagai aspek politik. Para jamaah haji asal Indonesia seringkali berulah ketika pulang dari Tanah Suci karena mempelajari hal-hal baru yang kemudian mereka sebarkan, memicu pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Pendekatan ini pertama kali muncul pada era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810. Daendels meminta jamaah haji untuk mengurus paspor haji sebagai tanda identifikasi karena khawatir mereka akan menghasut kerusuhan. Kebijakan serupa juga diterapkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles.
Pada tahun 1859, kebijakan politis terkait gelar haji diterapkan secara menyeluruh dengan aturan yang mengatur mekanisme penerimaan pulang haji, termasuk serangkaian ujian dan kewajiban menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama serta menggunakan pakaian khas haji. Latar belakang aturan ini adalah ketakutan pemerintah Hindia Belanda terhadap potensi pemberontakan yang bermula dari pulang haji, seperti yang terjadi dalam Perang Jawa dari 1825 hingga 1830.
Sejak saat itu, pemerintah kolonial terus mengawasi ketat eks-jamaah haji dengan mencantumkan gelar haji dalam sapaan dan nama mereka. Hal ini memudahkan pemerintah dalam mengawasi dan menindak para pemberontak, karena dalam pandangan mereka, pemberontakan seringkali dipelopori oleh jamaah haji.
Seiring dengan tersebarnya ajaran Islam dari Makkah ke Indonesia pada abad ke-20, praktik penggunaan gelar haji tetap diawasi secara ketat oleh pemerintah kolonial. Dari sinilah asal usul penggunaan gelar haji di Indonesia.
