Sejarah Asal Usul Penggunaan Kata ‘Bule’ untuk Orang Berkulit Putih
Masyarakat Indonesia sering menggunakan sebutan “bule” untuk merujuk kepada orang asing berkulit putih, khususnya orang Eropa dan Amerika, atau orang Barat. Namun, kebanyakan orang menggunakan kata ini tanpa mengetahui asal usulnya. Mengapa sebutan ini menjadi populer dan bagaimana sejarahnya?
Pada tahun 1952, kata “bule” sudah digunakan dalam tulisan W. le Febre dengan judul “Taman Siswa: Ialah Kepertjajaan Kepada Kekuatan Sendiri Untuk Tumbuh”. Dalam tulisan tersebut, terdapat ungkapan “wong bule (orang putih)” yang merujuk pada rasialisme terhadap orang kulit putih pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Namun, popularitas kata “bule” di masyarakat Indonesia diketahui dipopulerkan oleh Benedict Anderson, seorang Indonesianis asal Inggris. Dalam autobiografinya yang berjudul “Hidup di Luar Tempurung” (2016), Ben mengaku sebagai orang yang pertama kali mempopulerkan kata “bule” untuk menggantikan sebutan Tuan yang biasa digunakan oleh orang Indonesia terhadap warga asing.
Ben merasa risih ketika dipanggil Tuan dan merasa bahwa hal ini menunjukkan inferioritas orang Indonesia terhadap orang asing. Maka, dia merintis penggunaan kata “bule” untuk merujuk kepada orang berkulit putih, sebagai solusi agar tidak ada lagi kesan inferioritas dan superioritas.
Awalnya, kata “bule” sudah digunakan masyarakat Indonesia untuk merujuk kepada hewan berkulit albino seperti “kerbau bule” di lingkup Kesultanan Yogyakarta. Ben kemudian mendorong teman-temannya untuk menggunakan kata “bule” daripada “putih” ketika merujuk kepada orang berkulit putih.
Perlahan-lahan, kata “bule” menjadi populer dan diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai sebutan untuk orang berkulit putih. Meskipun demikian, bagi orang asing sebutan ini dianggap rasis. Namun, bagi masyarakat Indonesia, kata “bule” telah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari.
Sehingga, demikianlah sejarah dan asal usul penggunaan kata “bule” untuk merujuk kepada orang berkulit putih di Indonesia.
