27.3 C
Jakarta
Thursday, November 7, 2024

Pentingnya Memahami Perjuangan Kartini dalam Melawan Diskriminasi daripada Hanya Pamer Kebaya

Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April, sesuai dengan tanggal lahir RA Kartini. Tahun ini, Hari Kartini jatuh pada Minggu (21/4/2024).

Adapun Hari Kartini diperingati untuk mengenang jasa Raden Adjeng Kartini sebagai pahlawan perempuan dan pejuang emansipasi wanita di Indonesia.

Para wanita kerap mengenakan kebaya dengan beragam warna dan motif untuk memperingati Hari Kartini. Namun tahukah kamu bagaimana perjuangan Kartini melawan diskriminasi?

Berkat Kartini, perempuan Indonesia diakui keberadaannya di ruang publik, tak hanya di ranah domestik. Mereka punya hak dan kesempatan yang sama seperti lelaki, bisa pergi sekolah, bekerja, berkarya, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Hari Kartini mulai diperingati sejak pemerintahan Presiden 1 RI, Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Keputusan Presiden tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional serta menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahunnya, meski tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Sejarah Hari Kartini

Lahir di Jepara, Jawa Tengah dan lahir pada 21 April 1879, Kartini punya nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Ia lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa.

Ayahnya merupakan seorang Bupati Jepara bernama R.M Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Sosroningrat dikenal sebagai bupati yang pandai berbahasa Belanda.

Kemampuan bahasa Belanda tersebut kemudian diturunkan pada Kartini. Ia belajar secara otodidak dan mulai menulis surat dengan sahabat pena yang juga berasal dari Belanda.

Sedangkan ibu Kartini bernama M.A Ngasirah, merupakan anak dari seorang kyai atau guru agama di Teluk Awur, Kota Jepara. Ngasirah bukanlah keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa.

Semasa hidupnya, Kartini melihat banyak diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita. Pada masa itu, banyak perempuan sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku pendidikan. Namun sebagai seorang bangsawan, Kartini mendapat keistimewaan untuk bersekolah. Ayahnya menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah tersebut, Kartini juga mempelajari bahasa Belanda. Lantaran tradisi pada masa itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipinggit’, maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.

Di sinilah sejarah perjuangan Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Salah satunya yaitu Rosa Abendanon yang…
Kartini juga menulis mengenai makna Ketuhanan dan juga nasionalisme. Temannya dari Belanda yang bernama Rosa Abendanon dan Estelle “Stella” Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh Kartini.

Perjuangan Kartini dan Emansipasi Wanita

Sejak remaja, Kartini banyak membaca De Locomotief, sebuah surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah mengenai kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Kartini kecil juga sering mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Buku-buku bertuliskan Belanda tersebut membuat pikiran Kartini semakin terbuka dan maju.

Ketertarikannya dalam membaca membuatnya memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata mengenai emansipasi wanita, namun juga masalah sosial umum.

Perjuangan awal Kartini dimulai saat ia mendirikan sekolah khusus putri di Jepara. Di sekolah tersebut, mereka diajarkan mengenai cara membaca, menulis, menjahit, menyulam, dan memasak.

Kartini juga bahkan bercita-cita untuk menjadi seorang guru, meskipun keinginannya tersebut tidak pernah terwujud karena ia harus menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang Bupati Rembang, di usia yang muda.

Beruntung, suami Kartini sangat mengerti cita-cita istrinya dan mengizinkannya untuk membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang Kompleks kantor Kabupaten Rembang. Di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Berkat kegigihan Kartini, akhirnya didirikanlah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada tahun 1912 dan kemudian di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan sejumlah daerah lainnya. Nama-nama sekolah tersebut dinamakan “Sekolah Kartini”.

Meninggal Dunia di Usia 25 Tahun

Sebelum sempat melihat hasil jerih payah perjuangannya dalam memberdayakan wanita, Kartini menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan putranya bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan sang putra, tepatnya pada 17 September 1904. Jasad Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Lagu Ibu Kita Kartini

Lagu Ibu Kita Kartini diciptakan oleh W.R Supratman yang disebut sebagai Guru Bangsa Indonesia dalam buku yang ditulis Lilis Nihwan untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Lagu “Ibu Kita Kartini” ini diciptakan oleh W.R Supratman yang terinspirasi saat meliput Kongres Wanita Indonesia yang berlangsung di Jogjakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Lagu tersebut merupakan gambaran kebanggaan W.R Supratman kepada tokoh wanita, yaitu R.A Kartini yang dinilai sangat memikirkan kaum wanita dan bangsa Indonesia.

Source link

berita terkait

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Berita Terbaru