Pada 5 September 2005, langit pagi di Bandara Polonia, Medan, terlihat cerah saat pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines bersiap lepas landas menuju Jakarta dengan 117 penumpang di dalamnya, termasuk Fredy Ismail (53). Fredy dan istrinya duduk di kursi 20E di bagian belakang pesawat tanpa ada firasat buruk. Namun, ketika pesawat mulai bergetar kuat, keadaan menjadi tidak biasa. Meskipun instruksi keselamatan yang diberikan pramugari telah diperhatikan, pesawat tiba-tiba gagal mencapai ketinggian yang tepat setelah lepas landas. Kondisi ini menyebabkan pesawat menghantam permukiman warga di Padang Bulan, Medan, dan Fredy menjadi salah satu dari tujuh orang yang selamat dari peristiwa mengerikan tersebut.
Selama Fredy merangkak keluar pesawat, sebelum ledakan bahan bakar terjadi, sejumlah orang lain ikut menyelamatkan diri. Pada akhirnya, korban jiwa akibat kecelakaan ini mencapai angka yang tragis, menelan 140 nyawa termasuk penumpang pesawat dan warga Padang Bulan. Penyelidikan KNKT menyimpulkan bahwa pesawat gagal terbang karena kesalahan teknis multi-faktor. Pilot diduga tidak melakukan prosedur checklist dengan benar, sehingga tidak dapat mendeteksi masalah pada sayap pesawat. Kegagalan fungsi peringatan pada pesawat juga menjadi faktor penyebab tragedi tersebut.
Kecelakaan ini membuat rencana untuk membangun bandara baru menjadi semakin mendesak. Bandara Polonia di Medan, yang terletak di kawasan permukiman padat penduduk, dianggap berisiko tinggi terjadi kecelakaan serupa di masa depan. Akibatnya, sembilan tahun setelah kejadian tragis ini, Bandar Udara Internasional Kualanamu dioperasikan sebagai bandara pengganti yang lebih modern. Ini merupakan langkah penting untuk mencegah terulangnya tragedi pesawat Mandala Airlines RI-091, salah satu kecelakaan pesawat terburuk dalam sejarah Indonesia.