27.5 C
Jakarta
Thursday, November 7, 2024

Military Leadership: Sudirman, the Grand General of the Indonesian Armed Forces

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang kuat dan mulia kepada generasi TNI selanjutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni.

Beliau meninggalkan TNI landasan harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI di masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati.

Kepahlawanannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah dalam meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau mengokohkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Beliau merupakan seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah di Solo, saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang penduduk bahwa mereka seharusnya mengizinkan warga Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah terpilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang lurus. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik dipilih sebagai komandan kompi dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi tersebut adalah nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kelak terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik baru yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang akhir tahun 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, pasukan Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris dengan intensitas yang cukup sehingga keberangkatan mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau kemudian menjadi tokoh heroik yang mewakili semangat perjuangan TNI yang garang. Beliau dikreditkan atas pendorong dan pengejaran pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini adalah pukulan yang menentukan dalam memastikan bahwa Jawa Tengah menjadi di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapat penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Angkatan Rakyat Keamanan (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Perwira senior teratas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau bersumpah setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai tentara yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka dikomunikasikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada tanggal 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata yang diadakan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda meluncurkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak terhadap Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman di belakang dari Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaksahehan tindakan Belanda melalui sarana diplomasi dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima Komandan Pertama Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Kendati sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat dia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau mengusulkan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk bertempur dan menawarkan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan para pasukannya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan TNI akhirnya mendapat keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan ke generasi TNI selanjutnya warisan yang kuat dan mulia, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI di masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap tegas dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sadar bahwa ada kemungkinan tinggi beliau bisa terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya semacam itu. Namun, beliau memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya meningkatkan keyakinan bawahannya dan rakyat secara keseluruhan di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, pada waktu itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah dalam meletakkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link

berita terkait

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Berita Terbaru