Fenomena kohabitasi atau “kumpul kebo” serta kelahiran anak di luar pernikahan semakin marak di kota-kota besar Indonesia. Generasi muda kini melihat pernikahan sebagai institusi normatif dengan regulasi kompleks, sedangkan kohabitasi dianggap sebagai bentuk hubungan yang mencerminkan cinta dan daya tarik mutualisme. Di banyak negara seperti Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Belanda, kohabitasi telah diakui secara hukum sebagai bentuk baru pembentukan keluarga.
Namun, di Asia terutama Indonesia, kohabitasi tidak diakui secara legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa kohabitasi semakin umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, terutama di Manado, Sulawesi Utara. Beberapa faktor yang mendorong kohabitasi di sana antara lain adalah beban finansial, rumitnya prosedur perceraian, serta penerimaan sosial terhadap pasangan kohabitasi.
Selain itu, ada dampak buruk yang bisa muncul akibat kohabitasi, terutama bagi perempuan dan anak. Ketiadaan payung hukum dapat menciptakan ketidakpastian ekonomi dan sosial, serta dampak negatif terhadap kesehatan mental. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi kebijakan dan perlindungan yang lebih inklusif untuk menjaga kesejahteraan perempuan dan anak di tengah dinamika sosial yang terus berkembang. Jadi, sementara kohabitasi bisa menjadi pilihan bagi beberapa pasangan, penting juga untuk memahami konsekuensi dan dampaknya secara menyeluruh demi kebaikan semua pihak.