Kumpul kebo semakin marak di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Hal ini dipicu oleh pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan. Banyak anak muda menganggap pernikahan sebagai hal yang rumit dan normatif, sehingga memilih untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan sebagai bentuk cinta yang lebih murni.
Namun, di Indonesia, kumpul kebo tidak mendapatkan pengakuan legal, berbeda dengan negara-negara Barat dan utara lainnya. Sebuah studi menunjukkan bahwa kumpul kebo lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur, terutama di kalangan non-Muslim.
Ada beberapa alasan mengapa pasangan memilih untuk kumpul kebo, di antaranya adalah beban finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial. Namun, dampak negatif dari kumpul kebo juga perlu diperhatikan. Terutama bagi perempuan dan anak, yang rentan mengalami ketidakamanan finansial dan masalah kesehatan mental.
Dalam kumpul kebo, tidak ada regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, nafkah, hak asuh anak, dan lain sebagainya. Konflik dalam hubungan kumpul kebo juga cukup sering terjadi, mulai dari konflik ringan hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Anak-anak yang lahir dari hubungan kumpul kebo juga rentan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta masalah emosional. Stigma dan diskriminasi terhadap status anak tidak sah juga akan mempengaruhi identitas dan integrasi anak dalam keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian, meskipun kumpul kebo menjadi tren di kalangan anak muda, penting untuk mempertimbangkan dampak negatifnya terutama bagi perempuan dan anak. Regulasi yang mendukung keamanan finansial dan perlindungan hak-hak anak perlu diperhatikan lebih lanjut dalam konteks kumpul kebo di Indonesia.