Dalam era digital yang terus berkembang, ancaman keamanan siber menjadi risiko utama bagi perusahaan di seluruh dunia. Menurut penelitian Sheehan dkk tahun 2022, ancaman tersebut tidak hanya berdampak pada kelangsungan bisnis, tetapi juga dapat menyebabkan pelanggaran privasi.
Kerugian finansial akibat ancaman keamanan siber diperkirakan akan terus meningkat, dengan prediksi Cybersecurity Ventures bahwa kerugian dapat mencapai 10,5 triliun USD pada tahun 2025. Untuk menghadapi tantangan ini, Nida Rubini dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menekankan pentingnya sistem pertahanan keamanan siber yang kuat.
Dia juga mencatat bahwa beberapa perusahaan, baik di tingkat nasional maupun global, telah menawarkan layanan perlindungan keamanan siber. Namun, kegagalan dalam melindungi data seperti yang terjadi dalam kasus tuduhan terhadap TikTok menunjukkan bahwa perlunya peningkatan dalam perlindungan data.
Menurut James Andrew Lewis dari CSIS Amerika Serikat, tuduhan terhadap perusahaan teknologi juga memiliki dimensi politik yang kuat. Oleh karena itu, negara perlu mengelola risiko yang ditimbulkan oleh ancaman keamanan siber dengan membangun legislasi dan otoritas eksekutif yang memungkinkan perusahaan untuk tetap beroperasi namun dalam lingkup yang aman.
Untuk mengatasi isu keamanan siber, Nida Rubini menyarankan beberapa langkah, termasuk optimalisasi kerjasama internasional dan regional, penguatan keamanan data masyarakat, regulasi perlindungan data pribadi, dan peningkatan literasi privasi digital masyarakat. Dengan kerjasama antara perusahaan dan pemerintah serta kesadaran akan pentingnya keamanan siber, langkah-langkah proaktif dapat diambil untuk mengurangi risiko dan melindungi kepentingan ekonomi serta keamanan masyarakat secara keseluruhan.