Saat merayakan Idulfitri, masyarakat Indonesia sering melakukan tradisi nyekar. Nyekar adalah ziarah kubur yang dilakukan dengan penaburan bunga di pusara makam. Awalnya, tradisi ini dilakukan oleh penganut kepercayaan Jawa Kuno dan Hindu sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal.
Ketika Islam masuk ke Jawa, terjadi akulturasi budaya antara Islam-Jawa-Hindu. Masyarakat mencampurkan budaya ini saat berziarah kubur yang dalam Islam dijadikan momentum positif sebagai pengingat kematian.
Menurut Muhamad Sochib di NU Online, tradisi nyekar adalah momentum untuk saling bertegur-sapa antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup. Selain itu, tradisi ini juga dianggap sebagai wahana untuk memperkuat hubungan dan keimanan akan kehidupan setelah dunia.
Riset “Kontestasi Pandangan Elite Agama di Gresik tentang Nyekar” (2016) juga menyebutkan bahwa tradisi nyekar dilakukan karena masyarakat Jawa meyakini bahwa mengirim doa tidak hanya untuk arwah yang meninggal, tetapi juga akan mendatangkan pahala bagi pengirim doa dan bisa menjadi perantara untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan.
Tradisi nyekar diharapkan bisa menjadi ajang untuk merefleksikan kehidupan dan menumbuhkan pengetahuan tentang asal-usul kita. Dengan menghormati leluhur, diharapkan muncul rasa sayang, iba, dan harapan akan ampunan dari Tuhan.
Selain itu, tradisi nyekar diharapkan juga dapat menjadi inspirasi untuk merenungkan apa yang harus dilakukan untuk masa depan, mengingat banyak hal yang belum terselesaikan oleh orang yang telah meninggal. Tradisi ini mencerminkan keikhlasan dan ketulusan dalam menjalani kehidupan.
Dengan demikian, tradisi nyekar tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada yang telah tiada, tetapi juga sebagai proses refleksi dan pembelajaran tentang kehidupan dan masa depan yang harus dijalani.