Pandemi COVID-19 telah mendorong pembentukan instrumen internasional baru untuk mengatasi kesiapsiagaan dan respons pandemi yang disebut Pandemic Treaty/Pandemic Agreement. Inisiatif ini didukung oleh WHO dan Presiden RI Joko Widodo bersama 25 kepala negara/pemerintahan lainnya.
Sejak pandemi COVID-19, terlihat bahwa sistem ketahanan kesehatan global, terutama di negara berkembang, sangat rapuh dalam hal finansial, akses terhadap vaksin, obat, dan diagnostik. Terdapat kesenjangan antara negara maju dan negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah dalam hal akses terhadap produk-produk kesehatan yang dibutuhkan.
30% penduduk dunia belum mendapatkan vaksin COVID-19, dan inilah yang mendorong Indonesia untuk aktif berpartisipasi dalam perundingan Pandemic Treaty. Negosiasi tersebut telah dilakukan sebanyak 10 kali namun masih ada beberapa pasal yang belum disepakati, termasuk mengenai PABS, instrumen One Health, transfer teknologi, no-fault compensation, dan pendanaan.
Indonesia berusaha memperjuangkan kesetaraan akses dalam Pandemic Treaty, termasuk dalam hal PABS, instrumen One Health, transfer teknologi, dan pendanaan. Pemerintah Indonesia mendorong perizinan transparan dan non-eksklusif serta pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh semua negara.
Negosiasi Pandemic Treaty diharapkan selesai secepatnya agar transfer pengetahuan dan teknologi antar negara dapat terlaksana dengan prinsip kesetaraan. Pemerintah RI juga akan terus memperkuat legislasi di tingkat nasional untuk menghadapi ancaman pandemi di masa depan.
Perlu diingat bahwa WHO tidak memiliki kewenangan untuk mengatur negara atau penduduk selama pandemi. Setiap keputusan terkait penanganan pandemi tetap menjadi tanggung jawab pemerintah negara masing-masing. Penting bagi seluruh negara untuk mempelajari pembelajaran dari pandemi COVID-19 agar dapat mewariskan dunia yang lebih aman dan lebih baik bagi generasi mendatang.