Ibrahim Asmoroqondi adalah sosok yang selalu dikaitkan dengan keberhasilan putranya, Sunan Ampel. Kedatangan Ibrahim Asmoroqondi dari Champa tidak sendirian, ia ditemani oleh dua putranya dan beberapa anggota keluarganya. Perjalanan mereka bertujuan untuk menghadiri panggilan istri penguasa Kerajaan Majapahit di Trowulan, namun mereka sempat singgah di beberapa kota dan menyebar kebaikan.
Ibrahim Asmoroqondi menyebar kebaikan melalui ajaran Islam tanpa kekerasan, melakukan pendekatan dialogis yang berhasil meng-Islamkan seorang ahli mesiu di Palembang, yaitu Arya Damar. Meskipun Arya Damar berasal dari kalangan yang berkuasa dan menganut keyakinan Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra, Ibrahim Asmoroqondi dengan telaten memasukkan ajaran Islam ke dalam hati Arya Damar.
Pertemuan Ibrahim Asmoroqondi dengan Arya Damar terjadi saat Arya Damar masih belum memeluk Islam, dan setelah dua bulan dikenalkan dengan ajaran Islam oleh Ibrahim Asmoroqondi, Arya Damar akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam dengan bimbingan sang guru. Arya Damar kemudian mengubah namanya menjadi Ario Abdillah setelah mengikuti ajaran Islam.
Ibrahim Asmoroqondi dan kedua putranya melanjutkan perjalanan ke Tanah Jawa setelah berhasil mengajarkan Islam kepada Ario Abdillah. Di Tanah Jawa, mereka singgah di beberapa pelabuhan seperti Semarang dan Tuban. Tuban menjadi perhentian terakhir Ibrahim Asmoroqondi, sementara kedua putranya meneruskan perjalanan mereka. Ali Murtadho pergi ke Bima untuk mengajarkan agama Islam, sementara Sunan Ampel menelusuri Tanah Jawa untuk menemui bibinya di Trowulan.
Meskipun Ibrahim Asmoroqondi wafat di Tuban sebelum dapat menyelesaikan perjalanan putra-putranya, ia meninggalkan peninggalan berupa Masjid Tua, bedug, mimbar, sumur, dan gapura padhuraksa di Desa Gesik (kini Desa Gesikan). Peninggalan tersebut masih dijaga dan dirawat oleh yayasan dan masyarakat sekitar Desa Gesikan hingga saat ini.