Pertimbangan dinamika politik di negara-negara Muslim sering kali memunculkan perdebatan mengenai otoritarianisme dan demokrasi. Meskipun demokrasi elektoral sudah ada di beberapa negara, mayoritas masih menghadapi tantangan dalam membangun sistem pemerintahan yang responsif dan inklusif.
Mayoritas negara Muslim masih tergolong sebagai negara otoriter, dengan faktor internal dan eksternal yang saling terkait menyebabkan hal ini. Sejarah kolonialisme yang intens di wilayah tersebut meninggalkan warisan yang kuat, termasuk pembentukan batas-batas nasional yang tidak mempertimbangkan keragaman etnis dan agama. Hal ini menciptakan tantangan dalam membangun identitas nasional yang inklusif dan sistem pemerintahan yang efektif.
Pengaruh Barat juga turut memainkan peran penting dalam dinamika politik di banyak negara Muslim. Intervensi Barat sering tidak selalu bertujuan untuk mempromosikan demokrasi, namun lebih pada kepentingan geopolitik dan ekonomi mereka sendiri. Hal ini menciptakan paradoks di mana negara-negara Barat yang menganut nilai-nilai demokrasi justru mendukung penguasa otoriter demi kepentingan strategis mereka.
Faktor internal seperti rentenisme, terutama yang berkaitan dengan minyak, juga menjadi penyebab utama otoritarianisme di negara-negara Muslim. Ketergantungan ekonomi pada sumber daya alam sering kali memperkuat struktur kekuasaan yang otoriter, dengan penguasa memanfaatkan kontrol atas rente untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini menghambat perkembangan demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam proses politik.
Peran Islam dalam politik juga menjadi fokus perdebatan. Beberapa melihat Islam sebagai penyebab otoritarianisme, sementara yang lain menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti ideologi, patriarki, dan pengaruh ulama juga penting. Islamisasi hukum dan peningkatan peran ulama dalam pembuatan kebijakan sering dikaitkan dengan peningkatan otoritarianisme di negara-negara Muslim.
Selain itu, ketiadaan ekonomi yang kompleks juga menjadi faktor utama yang menyebabkan otoritarianisme di negara-negara Muslim. Struktur ekonominya seringkali tidak memadai untuk mendukung demokrasi yang stabil tanpa adanya kelas borjuis independen, masyarakat sipil yang kuat, dan institusi politik yang inklusif.
Untuk mencapai perubahan menuju demokrasi yang inklusif dan berkelanjutan di negara-negara Muslim, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang konteks politik, ekonomi, dan sosial. Faktor-faktor eksternal seperti sejarah kolonialisme dan intervensi Barat, bersama dengan faktor internal seperti rentenisme dan peran agama, semuanya berkontribusi pada kompleksitas politik di wilayah tersebut.